History Air Majapahit  Geschiedenis Air Majapahit

Sejarah Air Majapahit Negeri EMA
Kapitan Tanihatuila dan putri Nyai Mas Kenang Eko Soetarmi

Pada abad ke-14 putri Raja dan rombongan dari Kerajaan Majapahit diutus oleh Paduka Raja untuk bersekutu dengan para kapitan di bagian Timur wilayah Nusantara. Ada beberapa Kapitan di wilayah Timur (Maluku) saat itu, a.l. kapitan TANAHATU MESENG atau kapitan Kerajaan Hitu.
Salah satu kapitan perkasa di Leitimor adalah kapitan negeri Ema TANIHATUILA. Ada tiga kapitan besar dengan gelaran TANIHATUILA, yaitu Kapitan Maading, Maadong dan Maanaeng. Ketiganya biasa disebut ADING ADANG ANAHANG atau TANIHATUILA atau UPU KANO POHIHATO PAIPO ILA HO. Sehingga orang menduga hanya satu kapitan, padahal sesungguhnya ada tiga kapitan. Hal itu sering mengelabui kapitan-kapitan negeri lainnya.
Putri Paduka Raja Majapahit secara khusus diutus untuk bersekutu dengan kapitan TANIHATUILA dari negeri Ema. Dalam pelayarannya sang putri membawa sebuah peta, gendi emas sebagai tempat air minum, tombak dan seperangkat gending/gamelan (=toto buang). Pada pinggangnya terselip sebuah keris pusaka untuk menghadapi kesaktian kapitan negeri Ema.
Setelah tiba di pesisir utara pantai Pulau Ambon mereka mendaki gunung menuju negeri HUARESI REHUNG (Ema). Di puncak gunung mereka beristirahat. Tuan putri dikelilingi oleh para dayang-dayang.
Perkenalanpun terjadi antara ADING ADANG ANAHANG dengan Nyai MAS KENANG EKO SOETARMI. Sang putri kembali menyampaikan maksudnya. Tetapi semuanya ditolak oleh kapitan dengan alasan tanahnya tidak boleh dijajah oleh orang lain, sebab dia yang harus memerintah sendiri. Kapitan sangat marah dengan permintaan putri itu. Sang putri gelisah dan murung.

Akhirnya ia memanggil pengawalnya untuk membawa gendi air minum yang dibawa dari Jawa. Pengawal tersebut memanggil Malesi Soa-Lisa sesuai permintaan sang putri. Sang putri memberi gendi itu kepada Malesi Soa-Lisa dan berkata “letakkan gendi ini di dusun Losaru, maka dia akan mengeluarkan air jernih menjadi mata air tanda sejarah bagi anak cucumu turun-temurun”. Ia juga menyerahkan tombak pusaka seperangkat gamelan dan tempat dupa dari tembaga (=tempat sirih tembaga).
Sang putri berpesan kepada pengawalnya “kamu harus pulang ke Jawa dan kabarkan kepada Paduka Raja saya telah gagal dan tidak akan pulang ke Majapahit”
Kemudian putri memberikan selarik keratas kepada Malesi Soa-Lisa, lalu menjauhkan diri untuk bersamadi. Dengan menggunakan ajian yang diberikan gurunya ia menghilang.

 Datang salah seorang pengawalnya dan melapor bahwa “batu tempat saya menancapkan tombak keluar air jernih”. Mereka melihat keajaiban itu dan tuan putri menanamkan tempat itu Batu Minum Air, dan air itu digunakan sebagai air minum saat mereka makan di situ. Setelah makan, tuan putri mohon diri untuk bersemedi.

Kemudian rombongan melanjutkan perjalanan. Datang sang pengawal dan melapor bahwa “jalan di depan sangat menurun dan terjal, kita harus turun sambil duduk”. Karena kondisi perjalanan seperti itu maka tempat itu dinamakan LOSARU. Dari LOSARU sudah terlihat negeri HUARESI REHUNG. Hal itu dilaporkan pengawal kepada tuan putri “tuan putri negeri Huaresi sudah kelihatan dari sini. Baiklah kita beristirahat untuk melihat-lihat situasi, sambil kita makan dan minum untuk melanjutkan perjalanan”.


Tombak di matah rumah Maitimu

Saat beristirahat tuan putri menyuruh pengawal mengambil peta dan melihat keberadaan negeri itu. Sang putri berkata “kita harus masuk negeri ini dari sebelah barat, sebab di bagian utara ada benteng pertahanan Huaresi dengan malesi-malesi saktinya”.
Berkemaslah mereka menuju sebelah barat negeri Huaresi. Namun sang pengawal melihat ada seorang memanjat pohon, sepertinya melakukan pengintaian.
Malessi Soa-Lisa menanam gendi emas yang diberikan itu, dan tiba-tiba mengeluarkan air jernih. Lalu dinamakanlah AIR MAJAPAHIT, sebagai pusaka sejarah negeri HUARESI REHUNG. Sesudah keajaiban itu Malesi Soa-Lisa menghadap Kapitan untuk menyerahkan larik kertas yang diberikan Ni Mas. Adapun isi surat itu ialah (bahasa Tanah Teluti):
 Pengawal segera menemui orang itu dan menanyakan apakah dia adalah anak Huaresi. Ternyata benar, orang itu adalah anak Huaresi. Lalu pengawal mengajak dia untuk bertemu dengan sang putri. Putri lalu memberi hormat kepada orang itu dan orang itu bertanya “Nona dari mana?”. “Saya dari Jawa Dwipa, ingin bertemu dengan kapitanmu; dan nama saya Nyai MAS KENANG EKO SOETARMI”. “Beta adalah Malesi Soa-Lisa”, kata anak Huaresi memperkenalkan dirinya.
Di Losaru terjadi percekapan antara Ni Mas dengan Malesi Soa-Lisa. Malesi Soa-Lisa mengantarnya ke suatu tempat yang bernama SABUA. Ia membicarakan maksud kedatangannya dengan Malesi Soa-Lisa, yaitu untuk bersekutu dengan kapitan Ema dalam rangka memperluas wilayah kekuasasaan Majapahit.
Melalui beberapa proses baru Malesi Soa-Lisa menghadap Kapitan negeri Ema, katanya “Tabea Kapitano Tanihatuila, beta datang untuk lapor bahwa rombongan Putri Mojopahit dari Jawa Dwipa sudah datang. Mereka menunggu di ujung sebelah barat. Jadi mereka sudah tibah”.

         “Tale pata-pata ru
poso-poso upu re ona ina re
pata ina we
ona ina ome tatawae
sakulu tata ona alokae
sopa-sopa kona ina o
tauru kalo mae wora ita maawae
sopa-sopa kalo ika hita mao ne”

Artinya:
“banyak pendatang akan ke negeri sini
hanya satu yang pewaris
sabar dan penuh saling mengasihi
hai pewaris-pewarisku manusia sejati
olah diri jangan baku hantam
apa yang kulaksanakan bukan tugas
tetapi amal baktiku padamu”

Setelah membaca surat itu Malesi Soa-Lisa berkata “dengarlah Upu-upu Ama Upu-upu Ina. Jagalah tombak pusaka dan pelihara air Majapahit menjadi sumber sejarah bagi anak cucu kita”.
“Beta sudah tahu sebelum mereka datang, jadi nanti katong akan pergi”, kata kapitan. Kapitan memanggil malesi negeri (Pari) untuk mengumpulkan semua Jou-jou (Kepala-kepala soa) dan tua-tua negeri untuk bermusyawarah di Baileu. Ada yang menolak kedatangan sang putri, ada yang memuji kesaktiannya. Achirnya diputuskan untuk bertemu dengan tuan putri. Namun sebelum pergi menemui putri Majapahit itu, kapitan sudah bapake diri (mengisi diri dengan ilmunya)

Sampai kini benda-benda tersebut masih ada menjadi bukti sejarah bagi HUARESI REHUNG, anak negeri Ema.

Tempat ini biasa disebut Perigi (=sumur) Majapahit, dan menjadi sumber air Soa Lisa (Maitimu). Dititurkan bahwa setiap 19 Desember sumber-sumber air soa itu dibersihkan, termasuk perigi Majapahit.

  Para Informan a.l. Bpk. Topo Leimena (30/3-2001), Bpk. Max Maitimu (30/3-2001) dan Bpk. Sem Maitimu (1/4-2001), , serta catatan sejarah Perigi Majapahit yang ditulis oleh Matheos Sahulata 1980-an. Di samping itu cerita ini diketahui secara merata oleh masyarakat negeri Ema. Sumber  artikel diambil Tiga Batu Tungku, nomen nescio, 2001